Sabtu, 26 Maret 2011

Operasi Plastik di Korea


suasana resor ski Konjiam pada malam hari. Tempat ini merupakan salah satu dari beberapa tempat bermain ski di Korea Selatan. Gambar diambil pada Februari 2011.

BUS yang mengangkut kami berhenti di sebuah bangunan mirip ruko, bertuliskan ”Nu Plastic Surgery”. Pemandu kami, Eun Mi atau yang kami sapa Mei, langsung membawa kami ke lantai 13. Minuman selamat datang berupa jus jeruk dan camilan biskuit sudah menanti begitu kami memasuki ruang resepsionis.
Seorang pria berdasi menyambut kami dengan sapaan bahasa Indonesia yang cukup fasih. Tempat ini sesungguhnya adalah sebuah klinik, tepatnya klinik bedah plastik. Ya, sore itu kami, 10 jurnalis dari Indonesia, memang dibuatkan janji oleh Korea Tourism Organization untuk melihat salah satu klinik bedah plastik di Seoul.

”Kami tidak tahu berapa persisnya jumlah klinik seperti ini. Yang jelas, rasanya 7 dari 10 perempuan Korea pernah melakukan operasi plastik, entah hidung, bibir, banyak sekali yang ingin mempunyai lipatan kelopak mata atau ingin matanya tampak lebih besar,” kata Jee Hee Lee, manajer proyek di situ.

Kesan yang kami tangkap, yang namanya operasi plastik adalah sesuatu yang sangat terbuka. Tamu yang datang di luar rombongan kami tampak tidak menjadi kikuk berpapasan dengan kami. ”Operasi plastik sudah merupakan bagian dari gaya hidup. Kecenderungan paling terasa terjadi dalam lima tahun belakangan,” ucap Jee Hee Lee.

Menurut Lee, drama televisi yang begitu populer di Korea sangat memengaruhi kecenderungan ini, khususnya bagi perempuan-perempuan muda. ”Mereka ingin secantik seperti idolanya yang mereka lihat di televisi atau di layar bioskop.” Aduhai!

Pengalaman sore itu bagi kami luar biasa. Karena selain dua di antara rombongan kami diberi kesempatan mencicipi suntik botoks, kami dibawa ke sebuah ruangan di mana kami bisa menyaksikan seorang perempuan sedang menjalani liposuction atau sedot lemak.

Dari balik kaca, kami melihat bagian paha atas perempuan yang berbaring tengkurap itu sedang disedot dengan alat seperti pipa sepanjang sekitar 60 cm. Dokter menggerakkan pipa tersebut secara manual seperti halnya seseorang yang tengah mengeluarkan sesuatu, sementara di ujung tempat perempuan itu berbaring tampak sebuah tabung berwarna merah darah bercampur warna keputihan. Itulah lemak bercampur darah yang berasal dari bagian tubuh perempuan yang sedang menjalani penyedotan tersebut.

Bagi kami yang awam, pemandangan dari ruang operasi itu membuat ngilu. Ada banyak cara untuk mempunyai tubuh proporsional, termasuk jalan memintas seperti liposuction yang tengah dilakukan dokter di ruang operasi tadi.

Dijadikan paket wisata
Korea dengan kecanggihan peralatannya gencar menawarkan operasi plastik bukan hanya untuk warganya, melainkan juga untuk orang asing. Menurut Jee Hee Lee, saat ini klien di kliniknya masih didominasi warga Korea. ”Hanya 30-40 persen yang merupakan orang asing. Kebanyakan dari orang asing itu berasal dari China,” katanya. Sayang dia tidak bersedia menyebut persis angkanya. ”Rahasia kami,” jawabnya sambil tersenyum.

Indonesia belum menjadi target utama meski bukan berarti tidak berpotensi. Bulan Desember lalu, misalnya, Klinik Nu kedatangan tiga perempuan Indonesia yang melakukan operasi tarik wajah (facelift). Ongkosnya sekitar 6.500 dollar AS (lebih kurang Rp 67 juta), masih bersaing dengan ongkos operasi sejenis di beberapa negara lain, seperti Amerika, Taiwan, atau Singapura. Namun, kata Lee, sejumlah negara lain bisa membebankan ongkos jauh lebih murah. ”Harganya memang tidak murah. Ongkos kami termasuk anestesi sampai perawatan setelah operasi,” ucap manajer proyek Klinik Nu ini.

Kami memang tidak mendapat kesempatan membuat perbandingan dengan tempat lain. Yang jelas, di klinik yang satu ini operasi plastik telah dijadikan bagian dari paket wisata, medi-tour. Klinik bisa menyiapkan semua keperluan yang menyenangkan untuk berwisata sekaligus operasi. Atau dibalik, operasi sambil berwisata.

Seperti layaknya wisata, paket medi-tour menyiapkan segalanya, mulai dari hotel, transportasi, hingga pemandu plus penerjemah. Kalau perlu, ada pesawat khusus, penthouse, vila, sampai koki pribadi, pemandu pribadi. Pendeknya, ada harga, ada kualitas layanan.

Percaya diri
Dunia memang terus berubah. Korea (Selatan) tak menyia-nyiakan hal ini. Negara ini terus menggenjot industri wisatanya. Jika tahun 2010 jumlah wisatawan mancanegara 8,8 juta orang, tahun 2011 mereka menargetkan menjadi 10 juta orang. Tagline ”Korea be Inspired” dipromosikan dengan penuh percaya diri.

Paling tidak, ini yang terkesan saat berjumpa dengan Presiden Korea Tourism Organization Charm Lee di kantornya. ”Kami adalah Swiss-nya Asia,” ujar Charm Lee, pria bule asal Jerman yang beralih warga negara.
Korea Selatan, yang mempunyai empat musim, pada musim dingin menawarkan wisata salju, wisata main ski. Itu sebabnya, Lee bilang bahwa Korsel mirip Swiss, dengan sebagian wilayahnya yang memutih kala bulan Desember-Januari. ”Malah tahun 2010 salju datang lebih awal, yaitu bulan November, dan akan berakhir lebih panjang,” ucapnya.

Resor-resor tempat bermain ski menjadi salah satu bagian yang ditawarkan buat pelancong. Kalaupun belum pernah mencoba, para pelatih siap mendampingi. Seperti yang kami alami di Resor Konjiam, jatuh, bangun, tapi mengasyikkan. Setelah mencicipi, konon banyak orang merasa penasaran untuk mencoba lagi.

Kapan waktu yang tepat berkunjung? Jawabnya tergantung dari maksud dan tujuan. Lee menyebut beberapa daya tarik di luar soal musim. Salah satunya adalah tentang daya tarik bidang mode, yang membuat Korsel sebagai tempat yang asyik untuk wisata belanja. Dari hari ke hari, kata Lee, Korea semakin berkembang untuk urusan ini. Ditambah lagi artis-artis pop Korea—artis film dan musik—yang banyak digandrungi di luar negaranya.

”Dengan kualitas yang bagus dan harga yang kompetitif, kini Korea menjadi tempat tujuan belanja,” kata Lee lagi.

Lalu, tempat-tempat spa, tempat perawatan kecantikan modern, ditawarkan sebagai daya tarik turis. Negara maju seperti Jerman dan Jepang seperti menjadi tantangan tersendiri buat Korea. ”Teknologi dan layanan medis di sini rasanya sama dengan Jerman. Dibandingkan dengan Jepang, kami lebih murah dan lebih ramah,” kata Presiden Korea Tourism Organization ini.

Turis Jepang menurut data mereka adalah yang terbanyak di antara turis mancanegara lainnya, yaitu sekitar 3,1 juta orang pada tahun 2010, atau lebih dari sepertiga dari keseluruhan pelancong yang datang ke Negeri Ginseng ini. Belum diketahui apakah pada tahun 2011 angkanya akan berubah drastis karena gempa besar dan tsunami yang terjadi di Jepang, Maret 2011.

Di kawasan Asia Tenggara, Singapura dan Malaysia adalah wisatawan terbesar dengan sekitar 200.000 orang setiap tahun. Sementara orang-orang Indonesia yang melancong ke Korea tercatat sekitar 95.000 orang pada tahun 2010.

Sebenarnya, makin banyak warga bepergian, semakin banyak pelajaran yang bisa diperoleh. Sambil santai dan menjauhkan hal-hal keseharian, siapa tahu muncul inspirasi yang bisa dibawa pulang. Dan negara seperti Korsel barangkali adalah salah satu saja dari sejumlah negara yang layak disambangi.

Ketika kami melihat kemapanan masyarakatnya, misalnya, kami ingat cerita pemandu kami, Mei, yang mengatakan, ”Waktu di sekolah, kami selalu diajarkan, kalau kami tidak bekerja keras, kami tidak akan bisa hidup karena Korea Selatan tidak punya sumber daya alam.”

Anak-anak Korea dibiasakan belajar keras, sekolah dari pagi hingga pukul 21.00. Malah ada sekolah menengah atas yang mewajibkan murid membaca di perpustakaan hingga pukul 02.00. ”Tiap murid duduk dalam satu kotak yang hanya muat buat satu orang dan disekat-sekat sehingga tidak saling mengganggu,” begitu cerita Mei.

Doktrin yang terus-menerus dicekoki sejak masih duduk di sekolah dasar ini tampaknya terbawa terus sampai mereka dewasa. Bangsa ini seperti tak mau kalah dari bangsa lain. Kegigihan dalam banyak hal agaknya sudah membuahkan banyak hasil.

Di Indonesia, produk-produk Korea semakin hari semakin terasa kehadirannya dalam keseharian. Mulai dari kendaraan, alat-alat elektronik, gadget, sampai makanan kemasan di pasar-pasar swalayan. Belakangan ini bahkan film dan musik artis Korea ikut menyerbu pasar hiburan di Indonesia.
Apakah suatu saat Indonesia bisa semaju Korea?

 
Sumber :
Kompas Cetak

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sabtu, 26 Maret 2011

Operasi Plastik di Korea


suasana resor ski Konjiam pada malam hari. Tempat ini merupakan salah satu dari beberapa tempat bermain ski di Korea Selatan. Gambar diambil pada Februari 2011.

BUS yang mengangkut kami berhenti di sebuah bangunan mirip ruko, bertuliskan ”Nu Plastic Surgery”. Pemandu kami, Eun Mi atau yang kami sapa Mei, langsung membawa kami ke lantai 13. Minuman selamat datang berupa jus jeruk dan camilan biskuit sudah menanti begitu kami memasuki ruang resepsionis.
Seorang pria berdasi menyambut kami dengan sapaan bahasa Indonesia yang cukup fasih. Tempat ini sesungguhnya adalah sebuah klinik, tepatnya klinik bedah plastik. Ya, sore itu kami, 10 jurnalis dari Indonesia, memang dibuatkan janji oleh Korea Tourism Organization untuk melihat salah satu klinik bedah plastik di Seoul.

”Kami tidak tahu berapa persisnya jumlah klinik seperti ini. Yang jelas, rasanya 7 dari 10 perempuan Korea pernah melakukan operasi plastik, entah hidung, bibir, banyak sekali yang ingin mempunyai lipatan kelopak mata atau ingin matanya tampak lebih besar,” kata Jee Hee Lee, manajer proyek di situ.

Kesan yang kami tangkap, yang namanya operasi plastik adalah sesuatu yang sangat terbuka. Tamu yang datang di luar rombongan kami tampak tidak menjadi kikuk berpapasan dengan kami. ”Operasi plastik sudah merupakan bagian dari gaya hidup. Kecenderungan paling terasa terjadi dalam lima tahun belakangan,” ucap Jee Hee Lee.

Menurut Lee, drama televisi yang begitu populer di Korea sangat memengaruhi kecenderungan ini, khususnya bagi perempuan-perempuan muda. ”Mereka ingin secantik seperti idolanya yang mereka lihat di televisi atau di layar bioskop.” Aduhai!

Pengalaman sore itu bagi kami luar biasa. Karena selain dua di antara rombongan kami diberi kesempatan mencicipi suntik botoks, kami dibawa ke sebuah ruangan di mana kami bisa menyaksikan seorang perempuan sedang menjalani liposuction atau sedot lemak.

Dari balik kaca, kami melihat bagian paha atas perempuan yang berbaring tengkurap itu sedang disedot dengan alat seperti pipa sepanjang sekitar 60 cm. Dokter menggerakkan pipa tersebut secara manual seperti halnya seseorang yang tengah mengeluarkan sesuatu, sementara di ujung tempat perempuan itu berbaring tampak sebuah tabung berwarna merah darah bercampur warna keputihan. Itulah lemak bercampur darah yang berasal dari bagian tubuh perempuan yang sedang menjalani penyedotan tersebut.

Bagi kami yang awam, pemandangan dari ruang operasi itu membuat ngilu. Ada banyak cara untuk mempunyai tubuh proporsional, termasuk jalan memintas seperti liposuction yang tengah dilakukan dokter di ruang operasi tadi.

Dijadikan paket wisata
Korea dengan kecanggihan peralatannya gencar menawarkan operasi plastik bukan hanya untuk warganya, melainkan juga untuk orang asing. Menurut Jee Hee Lee, saat ini klien di kliniknya masih didominasi warga Korea. ”Hanya 30-40 persen yang merupakan orang asing. Kebanyakan dari orang asing itu berasal dari China,” katanya. Sayang dia tidak bersedia menyebut persis angkanya. ”Rahasia kami,” jawabnya sambil tersenyum.

Indonesia belum menjadi target utama meski bukan berarti tidak berpotensi. Bulan Desember lalu, misalnya, Klinik Nu kedatangan tiga perempuan Indonesia yang melakukan operasi tarik wajah (facelift). Ongkosnya sekitar 6.500 dollar AS (lebih kurang Rp 67 juta), masih bersaing dengan ongkos operasi sejenis di beberapa negara lain, seperti Amerika, Taiwan, atau Singapura. Namun, kata Lee, sejumlah negara lain bisa membebankan ongkos jauh lebih murah. ”Harganya memang tidak murah. Ongkos kami termasuk anestesi sampai perawatan setelah operasi,” ucap manajer proyek Klinik Nu ini.

Kami memang tidak mendapat kesempatan membuat perbandingan dengan tempat lain. Yang jelas, di klinik yang satu ini operasi plastik telah dijadikan bagian dari paket wisata, medi-tour. Klinik bisa menyiapkan semua keperluan yang menyenangkan untuk berwisata sekaligus operasi. Atau dibalik, operasi sambil berwisata.

Seperti layaknya wisata, paket medi-tour menyiapkan segalanya, mulai dari hotel, transportasi, hingga pemandu plus penerjemah. Kalau perlu, ada pesawat khusus, penthouse, vila, sampai koki pribadi, pemandu pribadi. Pendeknya, ada harga, ada kualitas layanan.

Percaya diri
Dunia memang terus berubah. Korea (Selatan) tak menyia-nyiakan hal ini. Negara ini terus menggenjot industri wisatanya. Jika tahun 2010 jumlah wisatawan mancanegara 8,8 juta orang, tahun 2011 mereka menargetkan menjadi 10 juta orang. Tagline ”Korea be Inspired” dipromosikan dengan penuh percaya diri.

Paling tidak, ini yang terkesan saat berjumpa dengan Presiden Korea Tourism Organization Charm Lee di kantornya. ”Kami adalah Swiss-nya Asia,” ujar Charm Lee, pria bule asal Jerman yang beralih warga negara.
Korea Selatan, yang mempunyai empat musim, pada musim dingin menawarkan wisata salju, wisata main ski. Itu sebabnya, Lee bilang bahwa Korsel mirip Swiss, dengan sebagian wilayahnya yang memutih kala bulan Desember-Januari. ”Malah tahun 2010 salju datang lebih awal, yaitu bulan November, dan akan berakhir lebih panjang,” ucapnya.

Resor-resor tempat bermain ski menjadi salah satu bagian yang ditawarkan buat pelancong. Kalaupun belum pernah mencoba, para pelatih siap mendampingi. Seperti yang kami alami di Resor Konjiam, jatuh, bangun, tapi mengasyikkan. Setelah mencicipi, konon banyak orang merasa penasaran untuk mencoba lagi.

Kapan waktu yang tepat berkunjung? Jawabnya tergantung dari maksud dan tujuan. Lee menyebut beberapa daya tarik di luar soal musim. Salah satunya adalah tentang daya tarik bidang mode, yang membuat Korsel sebagai tempat yang asyik untuk wisata belanja. Dari hari ke hari, kata Lee, Korea semakin berkembang untuk urusan ini. Ditambah lagi artis-artis pop Korea—artis film dan musik—yang banyak digandrungi di luar negaranya.

”Dengan kualitas yang bagus dan harga yang kompetitif, kini Korea menjadi tempat tujuan belanja,” kata Lee lagi.

Lalu, tempat-tempat spa, tempat perawatan kecantikan modern, ditawarkan sebagai daya tarik turis. Negara maju seperti Jerman dan Jepang seperti menjadi tantangan tersendiri buat Korea. ”Teknologi dan layanan medis di sini rasanya sama dengan Jerman. Dibandingkan dengan Jepang, kami lebih murah dan lebih ramah,” kata Presiden Korea Tourism Organization ini.

Turis Jepang menurut data mereka adalah yang terbanyak di antara turis mancanegara lainnya, yaitu sekitar 3,1 juta orang pada tahun 2010, atau lebih dari sepertiga dari keseluruhan pelancong yang datang ke Negeri Ginseng ini. Belum diketahui apakah pada tahun 2011 angkanya akan berubah drastis karena gempa besar dan tsunami yang terjadi di Jepang, Maret 2011.

Di kawasan Asia Tenggara, Singapura dan Malaysia adalah wisatawan terbesar dengan sekitar 200.000 orang setiap tahun. Sementara orang-orang Indonesia yang melancong ke Korea tercatat sekitar 95.000 orang pada tahun 2010.

Sebenarnya, makin banyak warga bepergian, semakin banyak pelajaran yang bisa diperoleh. Sambil santai dan menjauhkan hal-hal keseharian, siapa tahu muncul inspirasi yang bisa dibawa pulang. Dan negara seperti Korsel barangkali adalah salah satu saja dari sejumlah negara yang layak disambangi.

Ketika kami melihat kemapanan masyarakatnya, misalnya, kami ingat cerita pemandu kami, Mei, yang mengatakan, ”Waktu di sekolah, kami selalu diajarkan, kalau kami tidak bekerja keras, kami tidak akan bisa hidup karena Korea Selatan tidak punya sumber daya alam.”

Anak-anak Korea dibiasakan belajar keras, sekolah dari pagi hingga pukul 21.00. Malah ada sekolah menengah atas yang mewajibkan murid membaca di perpustakaan hingga pukul 02.00. ”Tiap murid duduk dalam satu kotak yang hanya muat buat satu orang dan disekat-sekat sehingga tidak saling mengganggu,” begitu cerita Mei.

Doktrin yang terus-menerus dicekoki sejak masih duduk di sekolah dasar ini tampaknya terbawa terus sampai mereka dewasa. Bangsa ini seperti tak mau kalah dari bangsa lain. Kegigihan dalam banyak hal agaknya sudah membuahkan banyak hasil.

Di Indonesia, produk-produk Korea semakin hari semakin terasa kehadirannya dalam keseharian. Mulai dari kendaraan, alat-alat elektronik, gadget, sampai makanan kemasan di pasar-pasar swalayan. Belakangan ini bahkan film dan musik artis Korea ikut menyerbu pasar hiburan di Indonesia.
Apakah suatu saat Indonesia bisa semaju Korea?

 
Sumber :
Kompas Cetak

Tidak ada komentar:

Posting Komentar