Sabtu, 04 Juni 2011

Ambisi "The Walker" Pecahkan Rekor Dunia

Herman Wenas di Amerika Serikat.

"Ukuran kekayaan seseorang sesungguhnya tidak diukur dari seberapa banyak yang dikumpulkan, tapi dari seberapa banyak yang dibagi"

Herman Wenas sudah berusia 36 tahun saat ia memulai perjalanannya pertama kali. Ia bukan sekadar seorang traveler yang pelesir ke luar negeri. Ada sebuah misi dan cara tertentu yang harus ia tempuh untuk mengejar mimpinya berkeliling dunia. Di tahun 2007 ia berhasil menempuh perjalanan sejauh 1.000 kilometer dengan berjalan kaki selama 33 hari. Ya, tidak seperti wisatawan atau petualang pada umumnya. Herman bagaikan suku Badui yang mengarungi daratan bumi dengan berjalan kaki.

Kini, di usianya yang sudah 43 tahun, ia pun berencana memecahkan Guinness World Record atau rekor dunia sebagai orang tercepat keliling dunia dengan berjalan kaki. Jika berhasil, maka ia akan berjalan sejauh 30.000 kilometer dan melewati 25 negara di dunia. Ia telah memulai perjalanan kaki pada tanggal 30 Mei 2011. Bali merupakan titik awal dan akhir perjalanannya. Ia dijadwalkan kembali ke Bali pada tahun 2015. Dalam perjalanannya, Herman akan didampingi oleh tim yang naik mobil.

Pria yang lahir di Jakarta pada 7 Desember itu dijuluki "The Walker" oleh orang-orang yang ditemuinya saat melakukan perjalanan. Ia berjalan tak hanya sekadar untuk memecahkan rekor dunia. Misi utamanya adalah penggalangan dana untuk hak-hak anak sekaligus mempromosikan Indonesia di mata dunia. Ia ingin berbagi dengan masyarakat dunia seperti apa negara yang ia cintai, Indonesia. Demi ini, ia harus berpisah dengan keluarga dan kampung halaman selama empat tahun. Apa yang membuatnya ngotot untuk melakukan perjalanan melelahkan ini? Simak wawancara Kompas.com dengan Herman Wenas berikut.

Apa sebenarnya tujuan Anda berjalan kaki ini?Ini buat contoh dan teladan, memang awalnya buat anak saya. Tapi pada akhirnya ini bisa jadi teladan untuk semua orang. Kekayaan seseorang itu sesungguhnya bukan dari seberapa banyak yang ia kumpulkan. Karena saat kita kumpulkan tanpa membagi, kita tidak akan merasa aman, akan selalu merasa kurang ini kurang itu. Ini yang ingin saya bagi, perjalanan ini. Pada prakteknya saya sampai tinggalkan bisnis yang sebenarnya bisa membuat saya lebih kaya lagi. Walaupun tidak seratus persen ditinggalkan tapi saya melepas kenyamanan itu untuk berjalan. Saya ingin menjadi teladan bagi anak saya. Kita bisa menjadi luar biasa dengan melakukan hal biasa di luar kebiasaan.

Ini pengaruh dari mana?Saya belajar dari orang tua. Dulu saya tinggal di rumah, rumahnya besar tapi jadi sempit karena terlalu banyak orang yang tinggal. Karena masih kecil, saya belum paham, sampai saya mikir orang tua saya masih bisa ngenalin gak ya anaknya yang mana. Saya empat bersaudara. Tapi yang lain yang berseliweran banyak. Ada yang disekolahkan oleh orang tua. Ada yang tinggal di rumah. Ada yang masih tinggal walaupun sudah nikah, karena belum kerja tapi sudah nikah. Saya melihatnya begini, waktu bapak saya meninggal tahun 2007, banyak yang datang dan mereka salamin saya sambil bilang "bapak kamu gini-gini...", begitu berjasanya bapak saya bagi mereka.

Saat Anda memulai perjalanan, apa yang Bapak Anda utarakan?Saat itu kondisi mental Beliau sudah mulai menurun. Tapi, dia tahu kalau saya melakukan perjalanan. Memang, dari dulu saya nyaman dengan sesuatu yang tidak rutin. Orang tua saya mengerti itu.

Mengapa pilih berjalan kaki?Karena saya suka jalan kaki. Saya menikmati proses perjalanan, saya gak suka jalan langsung sampai. Karena, ternyata sepanjang jalan ada banyak hal yang bisa ditemui. Saya tipikal pencerita jadi saya senang berinteraksi dengan orang. Saya bisa menemukan cerita-cerita baru dan saya juga bisa cerita tentang negara saya, budaya saya. Saya menikmati proses itu. Kalau dengan mobil kita memang bisa lihat lebih banyak tapi sedikit yang bisa ditemui.

Apa barang yang Anda perlukan atau Anda biasa bawa?Perlengkapan yang paling utama adalah sandal gunung. Prediksinya satu sandal itu untuk berjalan kaki sejauh 300 kilometer. Saya gak mungkin bawa semua. Misalnya gini, dari Bali ke Timor Leste itu 1.000 kilometer. Di sana sudah dipersiapkan sandal gunung di KBRI di Timor Leste. Jadi, sandal gunungnya sudah dikirim duluan. Kami ada kerja sama dengan Kementerian Luar Negeri. Kalau sepatu olahraga biasa itu panas. Kalau berhari-hari dipakai jalan, kaki jadi lembab dan kuku kaki bisa terlepas.

Pernah kuku saya lepas, padahal baru 1.500 kilometer pertama. Kita cari tahu penyebabnya. Ternyata karena sepatu. Selain sandal gunung, saya bawa backpack, tenda, dan tas pinggang. Tas pinggang isinya handphone, electric shock (alat kejut listrik untuk anti rampok), pisau lipat, dompet, dan fotokopi paspor. Kalau dokumen-dokumen asli yang penting kami tinggal di KBRI. Pokoknya diusahakan seringan mungkin.

Bagaimana jadwal Anda sehari-hari?Jam setengah 4 saya sudah bangun karena perlu persiapan lama. Pagi saya rutin buang air dulu, diatur jam seperti itu. Doa dulu, sarapan, dan stretching yang lama 30-45 menit, pemanasan untuk seluruh badan, jadi tidak hanya kaki. Saya jalan setengah enam pagi. Pas saya jalan, tim masih istirahat. Jadi ada jarak satu jam antara saya jalan dengan tim mulai berangkat. Selesai jalan jam enam sore. Itu total selama jalan ada tiga kali istirahat.

Kalau komunikasi atau interaksi dengan orang lain biasanya waktu istirahat saja, misalnya di hari weekend atau saat malam. Tapi kalau kepengin saja, kalau capek ya saya tidur. Sabtu dan Minggu saya libur untuk cuci pakaian dan saya manfaatkan untuk berkenalan dengan orang-orang. Ada beberapa negara yang tidak saya lintasi, tapi saat weekend, negara seperti Inggris, Belanda, Jerman akan saya kunjungi untuk promosi Indonesia.

Anda harus buang air setiap pagi tentu supaya tidak mengganggu perjalanan Anda ya?Iya, kalau lagi jalan tiba-tiba kebelet kan bahaya.

Pernah kejadian seperti itu?Pernah tuh, ceritanya waktu di Korea Selatan. Malamnya, saya ketemu teman-teman dan akhirnya pulang malam. Besoknya saya terlambat untuk start. Saya mulai start jam 11 siang dan saya belum sarapan. Saya makan di kafe Indonesia yang sudah saya kenal. Nah, ternyata mereka tutup karena baru buka sore. Saya bilang, "Yang ada aja deh saya makan", ternyata adanya makanan kemarin. Ya udah saya makan itu. Apa yang kita cerna kan baru bereaksi nanti. Nah, bereaksi jam 6 atau jam 7 sore. Harusnya sudah gelap, tapi waktu itu musim panas, masih terang, jadi saya jalan terus. Perut saya sakit banget tapi perjalanan masih jauh. Waktu itu saya jalan di jalanan menurun di sampingnya rel kereta api. Jadi saya cuma punya dua pilihan. Pilihannya posisi menghadap ke jalan atau ke rel kereta api.
Benar-benar buang air besar di alam terbuka?Yah, abis mau gimana lagi.

Memangnya tidak ada WC di stasiun kereta api?Gak ada WC. Kalau cari WC jauh banget stasiunnya. Saya sudah gak tahan lagi. Itu bener-bener jalanan lapang.

Rumah penduduk?Gak ada.

Akhirnya pilih posisi menghadap ke mana?Saya pikir lebih banyak mobil yang lewat. Jadi saya menghadap ke jalan saja. Saya tinggal tutup muka. Toh gak kenal ini, kalau kelihatan muka, juga gak bakal ketemu lagi. Nah, kebetulan saya pakai kaos tulisan "Indonesia" gede-gede di punggung. Makanya saya pilih hadap ke jalan. Jadi kalau ada mobil lewat, gak lihat tulisan "Indonesia".

Waktu start, saya sudah dipublikasikan di media sana bahwa ada orang Indonesia lagi jalan kaki. Pas saya lagi asyik, mobil gak ada yang lewat, malah kereta lewat. Kereta turis pula. Kebayang kan, kereta turis itu kan jendelanya gede-gede. Dan, karena kereta turis jalannya juga pelan. Saya refleks saja, ambil tisu tutup punggung saya, biar tulisan "Indonesia" ketutup. He-he-he... Itu kejadiannya tahun 2008.

Pernah sakit selama melakukan jalan kaki ini?Dari 2003 sampai sekarang tidak pernah sakit. Karena tahun 2003 saya belajar tentang nutrisi untuk aktivitas selama 12 jam. Makanan yang saya cari karbohidrat dan protein. Yang penting makanan sehat karena nanti berpengaruh pada metabolisme. Dari tahun 2005 sampai 2010, saya gak pernah sakit. Pernah sekali di tahun 2009 saya sakit karena kumpul dengan orang-orang perokok, saya jadi sakit batuk.

Apa karena jalan kaki ini malah membuat Anda tidak pernah sakit?Iya betul dan saya memang punya antibodi cukup kuat. Karena itu, saya juga kerja sama dengan UNICEF. Waktu saya kecil saya mendapatkan ASI eksklusif. Kalau anak-anak dulu kan orang tuanya kasih ASI eksklusif. Ini termasuk dalam hak anak.

Benar-benar tidak pernah sakit? Atau minimal pernah sakit flu?Kalau flu gak juga. Selama saya ikut proyek ini saya gak pernah flu. Paling parah itu ya waktu batuk itu. Mau gak mau karena rajin olahraga, keinginan kita untuk makan makanan manis dan tidak sehat itu hilang. Makanya bener juga ya, kalau diet yang benar itu olahraga bukan dengan cara tidak makan.

Kabarnya Anda pernah dilempar batu saat berjalan, itu ceritanya bagaimana?Itu kejadiannya di Amerika Serikat. Saya dilempar batu tanpa alasan. Hari itu saya pakai penutup putih semua, kalau jalan kelihatan mata doang. Ini untuk menghindari matahari langsung. Saya waktu itu pakai backpack dan tidak dikawal. Batunya kena di backpack. Saya nengok, terus gak ada. Lalu, 'buk' saya dilempar lagi. Saya nengok, kosong. Terus, dilempar lagi banyak dan kena samping jalan.
Saya lalu ambil telepon berlagak lagi nelepon. Saya biasa gitu, supaya mereka mikirnya saya nelepon polisi. Setelah itu gak ada yang ngelempar lagi. Waktu malamnya, kami memang ada evaluasi setiap malam, temen saya bilang, di daerah itu kalau malam selalu terdengar bunyi tembakan. Memang daerah itu daerah yang rawan. Dia bilang 'Mungkin karena lo putih semua, lo dikira Ku Klux Klan, karena itu daerah orang kulit hitam.

Apa pengalaman yang paling berbahaya dan nyaris mengancam jiwa Anda? Momen yang membahayakan sebenarnya ada beberapa kali. Di Korea Selatan, saya hampir ditabrak. Saya kalau ambil posisi cari yang melawan arus. Waktu itu, jalanan lagi diperbaiki jadi ditutup seng kanan dan kiri. Saya lagi jalan di jalanan tikung ke kiri. Di tikungan itu karena ada seng, posisi saya jadi tertutup. Di jalan, ada dua truk berjalan beriringan. Lalu ada mobil mau nyalip di tikungan. Karena truknya panjang dan lambat, dia ngebut buru-buru untuk menyalip. Mobil itu kaget lihat saya, dia paksakan masuk di celah kedua truk itu. Truk belakangnya sampai klakson panjang. Saya tidak kena, tapi saya bisa rasakan anginnya. Nyaris kena saya. Saat itu jantung rasanya copot. Pilihan dia serba salah. Kalau dia nabrak saya, saya 'lewat', dan dia kena tuntutan. Atau, dia ditabrak truk, dia yang lewat.

Apa kendala yang biasa dihadapi saat perjalanan?Kendalanya kebosanan. Karena saya saat jalan ya sendiri. Sementara tim naik mobil. Biasanya muncul kondisi itu setelah 2-3 minggu sendirian dan kebetulan telepon komunikasi tidak available. Tim saya pun beberapa kali ganti karena lelah mental.

Lelah mental ini karena apa?Karena bosan, kesepian, rindu, gak ngerti ngomong sama orang, makanan tidak cocok. Apalagi kondisi yang dihadapi di jalan itu-itu saja. Atau merasa kita cenderung diperintah-perintah mulu dan saya jadi dianggap bossy. Padahal kalau di jalan kan kita sudah susah untuk urusan sopan santun.

Pernah merasa ingin mundur?Saya pernah akhir tahun lalu kayak ingin berhenti saja lebih karena sisi psikologis. Tahun lalu ada masalah di dalam tim. Saya tidak bisa cerita dengan detail. Tapi itu untuk pertama kalinya saya berpikir untuk mundur. Tapi saya merasa punya tanggung jawab moral dengan anak saya.

***

Herman telah mempersiapkan diri sejak 2003 untuk pemecahan rekor dunia. Ia pun pernah mendapatkan pelatihan dari TNI sejak tahun 2005 sampai 2010, walaupun tidak secara berkala. Karena itu, ada banyak orang yang mendukungnya. Di sepanjang perjalanan, ia telah mengumpulkan ribuan tanda tangan dari orang-orang yang ia temui di jalan.

Selama perjalanan pun ia akan didampingi tim terdiri dari tiga orang, yaitu satu orang untuk dokumentasi, satu orang untuk logistik, dan satu orang sebagai public relation. Untuk memecahkan rekor dunia, ada beberapa persyaratan yang harus ia penuhi. Salah satunya adalah impossible barrier atau halangan seperti menyeberang laut.

Jika harus melewati laut, maka ia diperbolehkan untuk menempuhnya dengan kapal atau pesawat terbang. Namun, saat sudah sampai akan dihitung kembali derajat lintang batas toleransi dan dibawa ke titik terjauh sebagai titik start berjalan kaki. Misalnya tiba di Jakarta melalui Bandara Soekarno-Hatta, maka Herman akan dibawa ke Tanjung Priok dan memulai berjalan kaki dari titik tersebut. Syarat lainnya adalah jika ada titik yang mengharuskan dia untuk berhenti, maka ia hanya diperbolehkan berhenti selama-lamanya 14 hari.

Dalam satu hari, ia akan berjalan sejauh 30-40 kilometer tergantung medannya. Ia memperkirakan dalam satu bulan akan tercapai 1.000 kilometer. Sementara itu, untuk memecahkan rekor dunia diperlukan 29.000 kilometer. Sehingga jika berjalan lancar, rekor dunia dapat terpecah dalam waktu 30 bulan. Namun, Herman menambahkan satu tahun lagi untuk berjaga-jaga.

Berawal dari sebuah impian sederhana agar menjadi teladan bagi anak tercinta, Herman kini sudah menyelesaikan perjalanannya mengarungi Bali. Kisah perjalanan Herman "The Walker" Wenas dapat Anda ikuti di Travel.kompas.com yang ditayangkan setiap hari Senin.

kompas.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sabtu, 04 Juni 2011

Ambisi "The Walker" Pecahkan Rekor Dunia

Herman Wenas di Amerika Serikat.

"Ukuran kekayaan seseorang sesungguhnya tidak diukur dari seberapa banyak yang dikumpulkan, tapi dari seberapa banyak yang dibagi"

Herman Wenas sudah berusia 36 tahun saat ia memulai perjalanannya pertama kali. Ia bukan sekadar seorang traveler yang pelesir ke luar negeri. Ada sebuah misi dan cara tertentu yang harus ia tempuh untuk mengejar mimpinya berkeliling dunia. Di tahun 2007 ia berhasil menempuh perjalanan sejauh 1.000 kilometer dengan berjalan kaki selama 33 hari. Ya, tidak seperti wisatawan atau petualang pada umumnya. Herman bagaikan suku Badui yang mengarungi daratan bumi dengan berjalan kaki.

Kini, di usianya yang sudah 43 tahun, ia pun berencana memecahkan Guinness World Record atau rekor dunia sebagai orang tercepat keliling dunia dengan berjalan kaki. Jika berhasil, maka ia akan berjalan sejauh 30.000 kilometer dan melewati 25 negara di dunia. Ia telah memulai perjalanan kaki pada tanggal 30 Mei 2011. Bali merupakan titik awal dan akhir perjalanannya. Ia dijadwalkan kembali ke Bali pada tahun 2015. Dalam perjalanannya, Herman akan didampingi oleh tim yang naik mobil.

Pria yang lahir di Jakarta pada 7 Desember itu dijuluki "The Walker" oleh orang-orang yang ditemuinya saat melakukan perjalanan. Ia berjalan tak hanya sekadar untuk memecahkan rekor dunia. Misi utamanya adalah penggalangan dana untuk hak-hak anak sekaligus mempromosikan Indonesia di mata dunia. Ia ingin berbagi dengan masyarakat dunia seperti apa negara yang ia cintai, Indonesia. Demi ini, ia harus berpisah dengan keluarga dan kampung halaman selama empat tahun. Apa yang membuatnya ngotot untuk melakukan perjalanan melelahkan ini? Simak wawancara Kompas.com dengan Herman Wenas berikut.

Apa sebenarnya tujuan Anda berjalan kaki ini?Ini buat contoh dan teladan, memang awalnya buat anak saya. Tapi pada akhirnya ini bisa jadi teladan untuk semua orang. Kekayaan seseorang itu sesungguhnya bukan dari seberapa banyak yang ia kumpulkan. Karena saat kita kumpulkan tanpa membagi, kita tidak akan merasa aman, akan selalu merasa kurang ini kurang itu. Ini yang ingin saya bagi, perjalanan ini. Pada prakteknya saya sampai tinggalkan bisnis yang sebenarnya bisa membuat saya lebih kaya lagi. Walaupun tidak seratus persen ditinggalkan tapi saya melepas kenyamanan itu untuk berjalan. Saya ingin menjadi teladan bagi anak saya. Kita bisa menjadi luar biasa dengan melakukan hal biasa di luar kebiasaan.

Ini pengaruh dari mana?Saya belajar dari orang tua. Dulu saya tinggal di rumah, rumahnya besar tapi jadi sempit karena terlalu banyak orang yang tinggal. Karena masih kecil, saya belum paham, sampai saya mikir orang tua saya masih bisa ngenalin gak ya anaknya yang mana. Saya empat bersaudara. Tapi yang lain yang berseliweran banyak. Ada yang disekolahkan oleh orang tua. Ada yang tinggal di rumah. Ada yang masih tinggal walaupun sudah nikah, karena belum kerja tapi sudah nikah. Saya melihatnya begini, waktu bapak saya meninggal tahun 2007, banyak yang datang dan mereka salamin saya sambil bilang "bapak kamu gini-gini...", begitu berjasanya bapak saya bagi mereka.

Saat Anda memulai perjalanan, apa yang Bapak Anda utarakan?Saat itu kondisi mental Beliau sudah mulai menurun. Tapi, dia tahu kalau saya melakukan perjalanan. Memang, dari dulu saya nyaman dengan sesuatu yang tidak rutin. Orang tua saya mengerti itu.

Mengapa pilih berjalan kaki?Karena saya suka jalan kaki. Saya menikmati proses perjalanan, saya gak suka jalan langsung sampai. Karena, ternyata sepanjang jalan ada banyak hal yang bisa ditemui. Saya tipikal pencerita jadi saya senang berinteraksi dengan orang. Saya bisa menemukan cerita-cerita baru dan saya juga bisa cerita tentang negara saya, budaya saya. Saya menikmati proses itu. Kalau dengan mobil kita memang bisa lihat lebih banyak tapi sedikit yang bisa ditemui.

Apa barang yang Anda perlukan atau Anda biasa bawa?Perlengkapan yang paling utama adalah sandal gunung. Prediksinya satu sandal itu untuk berjalan kaki sejauh 300 kilometer. Saya gak mungkin bawa semua. Misalnya gini, dari Bali ke Timor Leste itu 1.000 kilometer. Di sana sudah dipersiapkan sandal gunung di KBRI di Timor Leste. Jadi, sandal gunungnya sudah dikirim duluan. Kami ada kerja sama dengan Kementerian Luar Negeri. Kalau sepatu olahraga biasa itu panas. Kalau berhari-hari dipakai jalan, kaki jadi lembab dan kuku kaki bisa terlepas.

Pernah kuku saya lepas, padahal baru 1.500 kilometer pertama. Kita cari tahu penyebabnya. Ternyata karena sepatu. Selain sandal gunung, saya bawa backpack, tenda, dan tas pinggang. Tas pinggang isinya handphone, electric shock (alat kejut listrik untuk anti rampok), pisau lipat, dompet, dan fotokopi paspor. Kalau dokumen-dokumen asli yang penting kami tinggal di KBRI. Pokoknya diusahakan seringan mungkin.

Bagaimana jadwal Anda sehari-hari?Jam setengah 4 saya sudah bangun karena perlu persiapan lama. Pagi saya rutin buang air dulu, diatur jam seperti itu. Doa dulu, sarapan, dan stretching yang lama 30-45 menit, pemanasan untuk seluruh badan, jadi tidak hanya kaki. Saya jalan setengah enam pagi. Pas saya jalan, tim masih istirahat. Jadi ada jarak satu jam antara saya jalan dengan tim mulai berangkat. Selesai jalan jam enam sore. Itu total selama jalan ada tiga kali istirahat.

Kalau komunikasi atau interaksi dengan orang lain biasanya waktu istirahat saja, misalnya di hari weekend atau saat malam. Tapi kalau kepengin saja, kalau capek ya saya tidur. Sabtu dan Minggu saya libur untuk cuci pakaian dan saya manfaatkan untuk berkenalan dengan orang-orang. Ada beberapa negara yang tidak saya lintasi, tapi saat weekend, negara seperti Inggris, Belanda, Jerman akan saya kunjungi untuk promosi Indonesia.

Anda harus buang air setiap pagi tentu supaya tidak mengganggu perjalanan Anda ya?Iya, kalau lagi jalan tiba-tiba kebelet kan bahaya.

Pernah kejadian seperti itu?Pernah tuh, ceritanya waktu di Korea Selatan. Malamnya, saya ketemu teman-teman dan akhirnya pulang malam. Besoknya saya terlambat untuk start. Saya mulai start jam 11 siang dan saya belum sarapan. Saya makan di kafe Indonesia yang sudah saya kenal. Nah, ternyata mereka tutup karena baru buka sore. Saya bilang, "Yang ada aja deh saya makan", ternyata adanya makanan kemarin. Ya udah saya makan itu. Apa yang kita cerna kan baru bereaksi nanti. Nah, bereaksi jam 6 atau jam 7 sore. Harusnya sudah gelap, tapi waktu itu musim panas, masih terang, jadi saya jalan terus. Perut saya sakit banget tapi perjalanan masih jauh. Waktu itu saya jalan di jalanan menurun di sampingnya rel kereta api. Jadi saya cuma punya dua pilihan. Pilihannya posisi menghadap ke jalan atau ke rel kereta api.
Benar-benar buang air besar di alam terbuka?Yah, abis mau gimana lagi.

Memangnya tidak ada WC di stasiun kereta api?Gak ada WC. Kalau cari WC jauh banget stasiunnya. Saya sudah gak tahan lagi. Itu bener-bener jalanan lapang.

Rumah penduduk?Gak ada.

Akhirnya pilih posisi menghadap ke mana?Saya pikir lebih banyak mobil yang lewat. Jadi saya menghadap ke jalan saja. Saya tinggal tutup muka. Toh gak kenal ini, kalau kelihatan muka, juga gak bakal ketemu lagi. Nah, kebetulan saya pakai kaos tulisan "Indonesia" gede-gede di punggung. Makanya saya pilih hadap ke jalan. Jadi kalau ada mobil lewat, gak lihat tulisan "Indonesia".

Waktu start, saya sudah dipublikasikan di media sana bahwa ada orang Indonesia lagi jalan kaki. Pas saya lagi asyik, mobil gak ada yang lewat, malah kereta lewat. Kereta turis pula. Kebayang kan, kereta turis itu kan jendelanya gede-gede. Dan, karena kereta turis jalannya juga pelan. Saya refleks saja, ambil tisu tutup punggung saya, biar tulisan "Indonesia" ketutup. He-he-he... Itu kejadiannya tahun 2008.

Pernah sakit selama melakukan jalan kaki ini?Dari 2003 sampai sekarang tidak pernah sakit. Karena tahun 2003 saya belajar tentang nutrisi untuk aktivitas selama 12 jam. Makanan yang saya cari karbohidrat dan protein. Yang penting makanan sehat karena nanti berpengaruh pada metabolisme. Dari tahun 2005 sampai 2010, saya gak pernah sakit. Pernah sekali di tahun 2009 saya sakit karena kumpul dengan orang-orang perokok, saya jadi sakit batuk.

Apa karena jalan kaki ini malah membuat Anda tidak pernah sakit?Iya betul dan saya memang punya antibodi cukup kuat. Karena itu, saya juga kerja sama dengan UNICEF. Waktu saya kecil saya mendapatkan ASI eksklusif. Kalau anak-anak dulu kan orang tuanya kasih ASI eksklusif. Ini termasuk dalam hak anak.

Benar-benar tidak pernah sakit? Atau minimal pernah sakit flu?Kalau flu gak juga. Selama saya ikut proyek ini saya gak pernah flu. Paling parah itu ya waktu batuk itu. Mau gak mau karena rajin olahraga, keinginan kita untuk makan makanan manis dan tidak sehat itu hilang. Makanya bener juga ya, kalau diet yang benar itu olahraga bukan dengan cara tidak makan.

Kabarnya Anda pernah dilempar batu saat berjalan, itu ceritanya bagaimana?Itu kejadiannya di Amerika Serikat. Saya dilempar batu tanpa alasan. Hari itu saya pakai penutup putih semua, kalau jalan kelihatan mata doang. Ini untuk menghindari matahari langsung. Saya waktu itu pakai backpack dan tidak dikawal. Batunya kena di backpack. Saya nengok, terus gak ada. Lalu, 'buk' saya dilempar lagi. Saya nengok, kosong. Terus, dilempar lagi banyak dan kena samping jalan.
Saya lalu ambil telepon berlagak lagi nelepon. Saya biasa gitu, supaya mereka mikirnya saya nelepon polisi. Setelah itu gak ada yang ngelempar lagi. Waktu malamnya, kami memang ada evaluasi setiap malam, temen saya bilang, di daerah itu kalau malam selalu terdengar bunyi tembakan. Memang daerah itu daerah yang rawan. Dia bilang 'Mungkin karena lo putih semua, lo dikira Ku Klux Klan, karena itu daerah orang kulit hitam.

Apa pengalaman yang paling berbahaya dan nyaris mengancam jiwa Anda? Momen yang membahayakan sebenarnya ada beberapa kali. Di Korea Selatan, saya hampir ditabrak. Saya kalau ambil posisi cari yang melawan arus. Waktu itu, jalanan lagi diperbaiki jadi ditutup seng kanan dan kiri. Saya lagi jalan di jalanan tikung ke kiri. Di tikungan itu karena ada seng, posisi saya jadi tertutup. Di jalan, ada dua truk berjalan beriringan. Lalu ada mobil mau nyalip di tikungan. Karena truknya panjang dan lambat, dia ngebut buru-buru untuk menyalip. Mobil itu kaget lihat saya, dia paksakan masuk di celah kedua truk itu. Truk belakangnya sampai klakson panjang. Saya tidak kena, tapi saya bisa rasakan anginnya. Nyaris kena saya. Saat itu jantung rasanya copot. Pilihan dia serba salah. Kalau dia nabrak saya, saya 'lewat', dan dia kena tuntutan. Atau, dia ditabrak truk, dia yang lewat.

Apa kendala yang biasa dihadapi saat perjalanan?Kendalanya kebosanan. Karena saya saat jalan ya sendiri. Sementara tim naik mobil. Biasanya muncul kondisi itu setelah 2-3 minggu sendirian dan kebetulan telepon komunikasi tidak available. Tim saya pun beberapa kali ganti karena lelah mental.

Lelah mental ini karena apa?Karena bosan, kesepian, rindu, gak ngerti ngomong sama orang, makanan tidak cocok. Apalagi kondisi yang dihadapi di jalan itu-itu saja. Atau merasa kita cenderung diperintah-perintah mulu dan saya jadi dianggap bossy. Padahal kalau di jalan kan kita sudah susah untuk urusan sopan santun.

Pernah merasa ingin mundur?Saya pernah akhir tahun lalu kayak ingin berhenti saja lebih karena sisi psikologis. Tahun lalu ada masalah di dalam tim. Saya tidak bisa cerita dengan detail. Tapi itu untuk pertama kalinya saya berpikir untuk mundur. Tapi saya merasa punya tanggung jawab moral dengan anak saya.

***

Herman telah mempersiapkan diri sejak 2003 untuk pemecahan rekor dunia. Ia pun pernah mendapatkan pelatihan dari TNI sejak tahun 2005 sampai 2010, walaupun tidak secara berkala. Karena itu, ada banyak orang yang mendukungnya. Di sepanjang perjalanan, ia telah mengumpulkan ribuan tanda tangan dari orang-orang yang ia temui di jalan.

Selama perjalanan pun ia akan didampingi tim terdiri dari tiga orang, yaitu satu orang untuk dokumentasi, satu orang untuk logistik, dan satu orang sebagai public relation. Untuk memecahkan rekor dunia, ada beberapa persyaratan yang harus ia penuhi. Salah satunya adalah impossible barrier atau halangan seperti menyeberang laut.

Jika harus melewati laut, maka ia diperbolehkan untuk menempuhnya dengan kapal atau pesawat terbang. Namun, saat sudah sampai akan dihitung kembali derajat lintang batas toleransi dan dibawa ke titik terjauh sebagai titik start berjalan kaki. Misalnya tiba di Jakarta melalui Bandara Soekarno-Hatta, maka Herman akan dibawa ke Tanjung Priok dan memulai berjalan kaki dari titik tersebut. Syarat lainnya adalah jika ada titik yang mengharuskan dia untuk berhenti, maka ia hanya diperbolehkan berhenti selama-lamanya 14 hari.

Dalam satu hari, ia akan berjalan sejauh 30-40 kilometer tergantung medannya. Ia memperkirakan dalam satu bulan akan tercapai 1.000 kilometer. Sementara itu, untuk memecahkan rekor dunia diperlukan 29.000 kilometer. Sehingga jika berjalan lancar, rekor dunia dapat terpecah dalam waktu 30 bulan. Namun, Herman menambahkan satu tahun lagi untuk berjaga-jaga.

Berawal dari sebuah impian sederhana agar menjadi teladan bagi anak tercinta, Herman kini sudah menyelesaikan perjalanannya mengarungi Bali. Kisah perjalanan Herman "The Walker" Wenas dapat Anda ikuti di Travel.kompas.com yang ditayangkan setiap hari Senin.

kompas.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar